Misteri Angka TBC Banten: Sukses Deteksi atau Tanda Bahaya? Analisis Mendalam Kesenjangan Program Antar Daerah

Ilustrasi Antrian Pasien di Depan Ruangan Poli Penyakit Dalam

SERANG – Sehat Wargi Banten? Sebuah data yang mengkhawatirkan sekaligus membingungkan muncul dari lanskap kesehatan provinsi kita. Laporan resmi menyebutkan bahwa temuan kasus Tuberkulosis (TBC) di Banten, bersama dengan Jawa Barat, secara signifikan telah melampaui angka estimasi nasional. Angka ini menempatkan Banten di persimpangan jalan: apakah ini sebuah “paradoks keberhasilan” yang menunjukkan program penemuan kasus kita bekerja sangat efektif, atau justru sebuah lonceng bahaya yang menandakan penyebaran TBC di tengah masyarakat jauh lebih luas dari yang kita duga?  

Tim BantenSehat.com melakukan penelusuran mendalam untuk membongkar dualisme di balik angka-angka ini, dan menemukan adanya jurang pemisah yang tajam dalam penanganan TBC antar wilayah di Banten.

Komitmen di Atas Kertas vs. Realita di Lapangan

Di tingkat kebijakan, Pemerintah Provinsi Banten telah menunjukkan komitmen yang kuat. Dengan target ambisius untuk mengeliminasi TBC pada tahun 2030, sebuah landasan hukum kokoh telah diletakkan melalui Peraturan Gubernur (Pergub) Banten Nomor 39 Tahun 2023. Pergub ini menguraikan strategi komprehensif, mulai dari promosi kesehatan, surveilans, penemuan dan pengobatan kasus, hingga terapi pencegahan.  

Berbagai kampanye seperti “Walk the Talk to End TB” juga gencar disuarakan untuk mengajak partisipasi masyarakat. Namun, ketika kebijakan ini turun ke tingkat implementasi, hasilnya bak bumi dan langit.  

Di satu sisi, ada kisah sukses yang patut diapresiasi. Kota Tangerang, misalnya, berhasil meraih penghargaan dari Kementerian Kesehatan atas keberhasilan kerja sama multi-sektor dalam percepatan eliminasi TBC. Fasilitas kesehatan seperti Puskesmas Cibodasari di Kota Tangerang juga terus meningkatkan kelengkapan fasilitasnya untuk menangani pasien TBC. Di Kota Serang, inisiatif jemput bola seperti “Grebeg TBC” digalakkan untuk menemukan kasus secara aktif di masyarakat.  

Namun, potret keberhasilan ini menjadi kontras ketika kita melihat ke wilayah lain. Di Kabupaten Lebak, situasinya jauh lebih suram. Data hingga April 2024 mencatat angka yang mencemaskan: 2.301 kasus TBC dengan 32 orang di antaranya meninggal dunia. Sementara itu, di Kabupaten Pandeglang, kinerja program penanggulangan TBC dilaporkan masih “rendah” dan terus dalam tahap evaluasi.  

Menelusuri Akar Kesenjangan: Anggaran dan Eksekusi

Pertanyaan mendasar yang muncul adalah: mengapa di bawah payung kebijakan provinsi yang sama, nasib penanganan TBC di Kota Tangerang bisa begitu berbeda dengan di Lebak dan Pandeglang?

Penelusuran kami menemukan salah satu faktor kunci yang mungkin menjadi jawabannya: alokasi sumber daya. Sebuah data menunjukkan bahwa Kabupaten Tangerang mengalokasikan dana yang sangat signifikan untuk pengendalian TBC, mencapai Rp 6,7 miliar. Besarnya anggaran ini tentu memberikan ruang gerak yang lebih leluasa untuk program penemuan kasus, pengobatan, dan pendampingan pasien.

Faktor kedua adalah efektivitas eksekusi dan kolaborasi. Penghargaan yang diterima Kota Tangerang secara spesifik menyoroti keberhasilan “kerja sama multi-sektor”. Ini mengindikasikan bahwa penanganan TBC tidak bisa hanya menjadi beban Dinas Kesehatan semata. Pihak Dinkes Banten sendiri mengakui bahwa mereka tidak bisa bekerja sendiri dan membutuhkan kemitraan dengan berbagai pihak, termasuk lembaga swadaya masyarakat, untuk mencapai target eliminasi. Kegagalan membangun sinergi yang kuat di beberapa daerah diduga menjadi penyebab program berjalan lambat.  

Masalah klasik seperti keterbatasan tenaga kesehatan dan stigma buruk terhadap penderita TBC di masyarakat juga masih menjadi penghalang utama di banyak wilayah.  

Kesimpulan: Sebuah Panggilan untuk Pemerataan

Wargi Banten, angka kasus TBC yang melampaui estimasi nasional adalah pedang bermata dua. Di satu sisi, kita patut mengapresiasi kerja keras tenaga kesehatan di lapangan yang berhasil menjaring lebih banyak penderita untuk diobati. Namun di sisi lain, data ini menjadi pengingat keras bahwa jurang kesenjangan pelayanan kesehatan di Banten masih sangat nyata.

Kisah sukses di Tangerang Raya membuktikan bahwa eliminasi TBC bukanlah hal yang mustahil jika didukung oleh komitmen politik, alokasi anggaran yang memadai, dan kolaborasi yang solid. Namun, target eliminasi TBC 2030 tidak akan pernah tercapai jika keberhasilan itu hanya terkonsentrasi di beberapa wilayah saja, sementara wilayah lain seperti Lebak dan Pandeglang masih berjuang dengan sumber daya terbatas dan angka kematian yang terus bertambah.

Misteri angka TBC Banten pada akhirnya bukanlah sekadar soal statistik. Ini adalah tentang keadilan dan hak setiap warga Banten untuk mendapatkan akses layanan kesehatan yang setara dan berkualitas, di manapun mereka berada. Pengawasan publik dan akuntabilitas pemerintah menjadi kunci untuk memastikan bahwa tidak ada satu pun Wargi Banten yang tertinggal dalam perang melawan TBC.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

HTML Snippets Powered By : XYZScripts.com